Suatu malam ia bermimpi pergi dari Mekah ke Yunani dan di sana menyembah patung; dan terjaga dicekam sedih dari mimpi yang menekan ini, ia pun berkata pada murid-muridnya, “Aku harus segera berangkat ke Yunani hendak melihat apakah aku dapat menemukan arti impian ini.”
Bersama empat ratus muridnya ia meninggalkan Ka’bah dan pada waktunya sampailah ia ke Yunani. Mereka pun berjalan dari ujung ke ujung negeri itu, dan suatu hari kebetulan tiba di tempat di mana terlihat seorang gadis sedang duduk di langkan. Gadis ini orang Nasrani, dan air mukanya menunjukkan bahwa ia memiliki pembawaan suka merenungkan masalah-masalah mengenai ketuhanan. Keindahannya bagai matahari dalam seri kegemilangannya, dan keagungannya bagai nama-nama rasi bintang. Karena cemburu akan seri cahaya si gadis , bintang pagi pun lama melena di atas rumahnya. Siapa terjerat hatinya di rambut gadis itu akan mengenakan tali pinggang orang Nasrani, dan yang nafsunya hinggap pada manikam mirah bibirnya akan merasa kebingungan. Pagi tampak lebih hitam warnanya karena rambut hitam gadis itu, dan negeri Yunani tampak berkeriput karena keindahan tahi lalatnya. Kedua matanya umpan bagi para pencinta, dan kedua alisnya yang melengkung merupakan dua bilah sabit di atas bulan kembar. Bila tenaga membuat biji matanya bersinar, seratus hati pun menjadi mangsanya. Wajahnya berbinar bagai nyala api yang hidup, dan manikam mirah bibirnya yang basah dapat membuat semesta dunia dahaga. Bulu-bulu matanya yang lunglai ialah seratus pisau belati, dan mulutnya begitu mungil sehingga kata-kata saja pun tak dapat lalu. Pinggangnya, lampai bagai sehelai rambut, terhimpit sepanjang lingkar zunnarnya2 dan lekuk perak dagunya begitu menghidupkan bagai khotbah-khotbah Isa.
Bila ia mengangkat sesudut cadarnya, hati syaikh itu pun berkobar; dan seutas rambut saja mengikat pinggangnya dengan seratus zunnar layaknya. Tak dapat ia mengalihkan matanya dari gadis Nasrani ini, dan sedemikian besar cintanya hingga maksudnya terluncur dari tangannya. Kekufuran dari rambut si gadis menghamburkan diri pada keimanan Syaikh itu. Syaikh itu pun berseru, “O betapa hebat cinta yang kurasakan terhadapnya ini. Bila agama membebaskan kita, alangkah beruntungnya hati!”
Ketika pengikut-pengikutnya mengerti apa yang telah terjadi dan mengetahui keadaan yang melibatnya, mereka pun pusing memikirkannya. Sebagian mulai menyadarkannya, tetapi ia tak mau mendengarkan. Ia hanya berdiri saja siang dan malam, matanya tertuju ke langkan dan mulutnya ternganga. Bintang-bintang yang bersinar bagai lelampu meminjam panas dari orang suci yang terbakar hatinya ini. Cintanya tumbuh membesar hingga ia lupa diri. “O Rabbi,” doanya, “dalam hidup hamba ini, hamba telah berpuasa dan menderita, tetapi belum pernah hamba menderita seperti ini; hamba dalam azab. Malam sepanjang dan sehitam rambutnya. Di manakah lampu Sorga? Adakah keluhan-keluhan hamba telah memadamkannya ataukah lampu itu menyembunyikan diri lantaran cemburu? Di manakah nasib baik hamba? Mengapakah ia tak menolong hamba mendapatkan cinta gadis itu? Dimanakah akal budi hamba agar hamba dapat mempergunakan pengetahuan hamba? Di manakah tangan hamba untuk menyucikan kepala hamba? Di manakah kaki hamba untuk berjalan mendapatkan kekasih hamba, dan mata hamba untuk melihat wajahnya? Di manakah kekasih hamba yang akan memberikan hatinya pada hamba? Apakah artinya cinta ini, duka ini, kepedihan ini?”
Sahabat-sahabat syaikh itu datang lagi padanya. Seorang berkata, “Sadarlah Tuan dan enyahkan godaan ini. Berpeganglah pada diri Tuan sendiri dan lakukan sesuci yang ditetapkan.” Jawab syaikh itu, “Tidakkah kalian tahu bahwa malam ini aku telah melakukan seratus kali sesuci, dan dengan gadis h hatiku?” Yang lain berkata, “Di manakah untaian tasbih Tuan? Bagaimana dapat Tuan berdoa tanpa itu?” Jawabnya, “Telah kucampakkan untaian tasbihku agar aku dapat mengenakan zunnar orang Nasrani.” Yang lain lagi berkata, “O syaikh yang suci, bila Tuan berdosa lekaslah bertaubat.” “Aku bertaubat kini,” jawabnya, “karena telah mengikuti hukum yang benar, dan aku hanya ingin meninggalkan hal yang bukan-bukan itu.” Seorang lagi berkata, “Tinggalkan tempat ini dan pergilah menyembah Tuhan.” Jawabnya, “Kalau saja patung pujaanku di sini, akan layaklah bagiku untuk bersujud di hadapannya.” Yang lain berkata, “Kalau demikian, Tuan tidak pula berusaha untuk bertaubat! Apakah Tuan bukan lagi pengikut Islam?” Jawab Syaikh itu, “Tiada orang yang bertaubat lebih dari aku, merasa menyesal bahwa selama ini aku tak pernah bercinta.” Yang lain lagi berkata, “Neraka menunggu Tuan bila Tuan terus juga di jalan ini; jagalah diri Tuan, maka Tuan pun akan terhindar daripadanya.” Jawabnya, “Jika adalah neraka, maka itu hanyalah dari keluhan-keluhanku, yang akan mengisi tujuh neraka.”
Mengetahui bahwa kata-kata mereka tak membekas sedikit pun pada syaikh itu meskipun mereka memohon padanya sepanjang malam, maka mereka pun pergi. Sementara itu, pagi yang bagai orang Turki dengan pedang dan perisai emas memenggal kepala malam yang hitam sehingga dunia angan-angan pun mandi terang matahari. Syaikh itu, sebagai barang permainan cintanya, berkeliaran bersama anjing-anjing, dan sebulan lamanya duduk di jalan itu dengan harapan akan melihat wajah sang gadis. Debu ialah tempat tidurnya dan ambang pintu rumah gadis itu bantalnya.
Kemudian, mengetahui bahwa syaikh itu putus asa dalam bercinta, gadis Nasrani yang jelita itu pun mengenakan cadarnya, lalu keluar dan berkata padanya, “O syaikh, bagaimana maka kau, seorang zahid, begitu mabuk dengan anggur kemusyrikan, dan duduk di sebuah jalanan Nasrani dalam keadaan demikian? Bila kau memujaku seperti ini, kau akan jadi gila.” Jawab syaikh itu, “Ini karena kau telah mencuri hatiku. Kembalikan hatiku itu atau sambut cintaku. Bila kau menghendaki, akan kukorbankan hidupku untukmu, tetapi kau dapat memulihkannya kembali dengan sentuhan bibirmu. Karena kau, hatiku terbakar. Telah kutumpahkan airmata bagai hujan, dan mataku tak dapat melihat lagi. Di mana hatiku, di sana hanyalah gadis h. Andaikan aku dapat menjadi satu denganmu, hidupku akan pulih kembali. Kau matahari, aku bayang-bayangnya. Aku orang yang tiada berarti lagi, tetapi bila kau mau mengindahkan diriku, aku akan menguasai tujuh kubah dunia di bawah sayapku. Kumohon padamu, jangan tinggalkan aku!”
“O kau pak tua!” kata gadis itu, “tidakkah kau malu menggunakan kapur barus untuk kain kafanmu? Mestinya kau malu menyarankan hubungan mesra padaku dengan nafasmu yang dingin! Lebih baik kau bungkus dirimu dengan kain kafan ketimbang kauhabiskan waktumu memikirkan aku. Kau tak mungkin menimbulkan cinta. Pergilah!”
Syaikh itu menjawab, “Katakan sesukamu, namun aku cinta padamu. Tak peduli apakah kita tua atau muda, cinta mempengaruhi segala hati.”
Gadis itu berkata, “Baiklah, kalau kau tak bisa ditolak, dengarkan aku. Kau harus meninggalkan Islam; karena cinta yang tak menyamakan dirinya dengan yang dicintainya hanyalah sekedar warna dan wangian.”
Kata syaikh itu, “Akan kulakukan apa yang kauinginkan. Akan kusanggupi segala yang kauperintahkan, kau dengan tubuhmu yang bagai perak: Aku hambamu. Ikatkan seutas rambutmu yang ikal di leherku sebagai tanda pengabdianku.”
“Jika kau seorang pengamal dari apa yang kau katakan,” kata gadis Nasrani itu, “kau harus melakukan empat perkara ini: bersujudlah di muka patung-patung itu, bakarlah Quran, minumlah anggur, dan tutuplah mata terhadap agamamu.” Syaikh itu berkata, “Aku mau minum anggur demi kecantikanmu, tetapi ketiga perkara yang lain tak dapat kulakukan.” “Baiklah,” kata gadis itu, “mari minum anggur bersamaku, kemudian kau pun akan segera mau menerima syarat-syarat yang lain itu.”
Dibawanya syaikh itu ke kuil para sahir di mana ia melihat sebuah perjamuan yang sangat aneh. Mereka duduk pada suatu pesta di mana wanita penjamunya terkenal kecantikannya. Gadis itu mengunjukkan satu piala anggur pada sang syaikh, dan ketika syaikh itu menyambutnya dan memandang kedua manikam mirah bibir kekasihnya yang tersenyum, bagai dua tutup kotak perhiasan, api pun berkorbar dalam kalbunya dan aliran gadis h menderas ke matanya. Ia berusaha mengingat kembali kitab-kitab suci tentang agama yang telah dibaca dan ditulisnya, dan Quran yang begitu dikenalnya; tetapi ketika anggur mengalir dari piala ke dalam perutnya, ia pun lupa akan semua itu; pengetahuan ruhaninya hilang lenyap. Ia pun kehilangan kemauannya yang bebas dan membiarkan hatinya terluncur lepas dari tangan. Ketika ia berusaha menyentuh leher si gadis, gadis itu pun berkata, “Kau hanya pura-pura mencintai. Kau tak mengerti rahasia cinta. Jika kau merasa yakin akan cintamu, kau akan dapat menemukan jalan ke ikal rambutku yang berlingkar-lingkar. Tenggelamkan dirimu dalam kekufuran lewat ikal rambutku yang kusut; selusuri ikal rambutku, dan tanganmu pun akan dapat menyentuh leherku. Tetapi jika kau tak mau mengikuti cara ;yang kutunjukkan itu, bangkitlah dan pergi; dan pakailah jubah serta tongkat orang fakir.”
Mendengar ini, syaikh yang mabuk cinta itu merasa tak berdaya; dan kini ia pun menyerah tanpa ribut-ribut lagi kepada nasibnya. Anggur yang telah diminumnya membuat kepalanya jadi segoyah kompas. Anggur itu tua dan cintanya muda. Bagaimana ia tak akan mabuk dan tenggelam dalam cinta?
“O Seri Cahaya Bulan,” katanya, “katakan padaku apa yang kauinginkan. Jika aku bukan penyembah patung selagi aku masih sadar, maka kini di saat aku mabuk akan kubakar Quran di muka patung pujaan.”
Jelita muda itu berkata, “Kini kau benar-benar suamiku. Kau pantas bagiku. Selama ini kau mentah dalam cinta, tetapi setelah memperoleh pengalaman kau pum matang. Bagus!”
Ketika orang orang Nasrani mendengar bahwa syaikh itu telah memeluk agama mereka, maka mereka bawa dia, masih dalam mabuk, masuk ke gereja, dan mereka katakan padanya agar mengenakan zunnar. Ia lakukan ini dan ia campakkan jubah darwisnya ke dalam api, ia tinggalkan agamanya dan ia patuhi kebiasaan-kebiasaan agama Nasrani.
Ia pun berkata pada gadis itu, “O puteri yang menawan hati, tiada seorang pun yang pernah berbuat bagi seorang wanita sejauh yang kulakukan itu. Aku telah menyembah patung-patung pujaanmu, aku telah minum anggur, dan aku telah meninggalkan agamaku yang sejati. Semua ini kulakukan demi cinta padamu dan agar aku dapat memilikimu.”
Lagi gadis itu pun berkata padanya, “Pak tua, budak cinta, bagaimana mungkin wanita seperti aku menyatukan diri dengan seorang fakir? Aku membutuhkan uang dan emas, dan karena kau tak punya apa-apa, enyahlah kau sama sekali.” Kata Syaikh itu, “O wanita jelita, tubuhmu pohon saru dan dadamu perak. Jika kautolak aku, kau akan mendorongku ke dalam putus asa. Pikiran untuk memiliki dirimu telah melemparkan aku dalam kekalutan. Lantaran kau kawan-kawanku telah menjadi musuhku. Seperti kau, demikianlah mereka; apa dayaku kini? O kekasihku, lebih baik aku di neraka bersama kau ketimbang di sorga tanpa kau.”
Akhirnya gadis itu merasa kasihan, dan syaikh itu pun menjadi suaminya, dan mulai pula gadis itu merasakan nyala cinta. Tetapi untuk mengujinya lagi, gadis itu berkata” “Kini, sebagai maskawin, o manusia tak sempurna, pergilah menjaga babi-babiku selama setahun, dan kemudian kita akan melewatkan hidup kita bersama-sama dalam suka atau duka!” Tanpa membantah, syaikh yang berkiblat pada Ka’bah ini, orang suci ini, menyerah untuk menjadi penjaga babi.
Dalam fitrah kita masing-masing ada seratus babi. Wahai kalian yang tak berarti apa-apa, kalian hanya memikirkan bahaya yang melibat syaikh itu! Sedang bahaya itu terdapat dalam diri kita masing-masing, dan menegakkan kepala sejak saat kita mulai melangkah di jalan pengenalan-diri. Jika kalian tak mengenal babi-babi kalian sendiri, maka kalian tak mengenal Jalan itu. Tetapi jika kalian tempuh perjalanan itu, kalian akan memergoki seribu babi –seribu patung pujaan. Halaukan babi-babi ini, bakar patung-patung pujaan ini di dataran cinta; atau jika tidak, kalian akan serupa syaikh itu, dihinakan cinta.
Maka kemudian, ketika tersiar kabar bahwa syaikh itu telah menjadi seorang Nasrani, sahabat-sahabatnya amat bersedih hati, dan semua menjauhinya, kecuali seorang yang berkata padanya, “Ceritakan pada kami rahasia peristiwa ini agar kami dapat menjadi orang-orang Nasrani bersama Tuan. Kami tak ingin Tuan tinggal dalam kemurtadan seorang diri; maka kami akan mengenakan zunnar orang Nasrani. Jika Tuan tak berkenan, kami akan kembali ke Ka’bah dan menghabiskan waktu kami dalam berdoa agar tak melihat apa yang kami lihat sekarang ini.
Syaikh itu berkata, “Jiwaku penuh duka. Pergilah ke mana kau suka. Adapun bagiku, gereja ini tempatku, dan gadis Nasrani itu tertakdir bagiku. Tahukah kau. mengapa kau bebas? Itu karena kau tak berada dalam keadaan seperti aku. Jika kau berada dalam keadaan demikian, tentulah aku akan mempunyai kawan dalam percintaanku yang malang. Maka kembalilah, sahabatku sayang, ke Ka’bah, karena tak seorang pun akan dapat ikut pula merasakan keadaanku yang sekarang ini. Jika mereka nanti menanyakan tentang diriku, katakanlah, “Matanya berlumur gadis h, mulutnya penuh racun; ia tetap berada dalam rahang naga-naga kekerasan. Tiada kafir ‘yang akan bersedia melakukan apa yang telah diperbuat si Muslim sombong ini lantaran pengaruh nasib. Seorang gadis Nasrani telah menjerat leher si Muslim itu dengan jerat dari seutas rambutnya’.” Dengan kata-kata itu ia pun memalingkan muka dari sahabatnya lalu kembali ke kawanan babinya.
Para pengikutnya yang selama itu mengawasi dari jauh, menangis pedih. Akhirnya mereka pun menempuh perjalanan kembali ke Ka’bah, dan dengan malu dan bingung menyembunyikan diri di sudut.
Di Ka’bah ada seorang sahabat syaikh itu, orang yang bijak dan berada di Jalan yang benar. Tak seorang pun yang lebih mengenal syaikh itu ketimbang dia, meskipun dia tak ikut menyertainya ke Yunani. Ketika orang ini menanyakan kabar sahabatnya, murid-murid pun menceritakan segala yang telah menimpa syaikh itu, dan mereka menanyakan cabang-pohon yang buruk manakah telah menusuk dadanya, dan apakah ini telah terjadi karena kehendak nasib. Mereka katakan bahwa seorang gadis kufur telah mengikatnya dengan seutas rambut saja dan menghalanginya dari seratus jalan agama Islam. “Dia bermain-main dengan rambut ikal dan tahi lalat gadis itu, dan telah membakar khirka-nya.3 Dia telah meninggalkan agamanya dan kini dengan mengenakan zunnar ia menjaga sekawanan babi. Tetapi sungguhpun ia telah mempertaruhkan jiwanya sendiri, namun kami rasa masih ada harapan.”
Mendengar ini, wajah, sahabat itu pun berubah warnanya jadi keemasan, dan ia mulai meratap pedih. Kemudian katanya, “Kawan dalam kesusahan, menurut agama tak pandang laki-laki atau perempuan. Bila seorang kawan yang menderita kesusahan membutuhkan pertolongan, kadang-kadang terjadilah bahwa hanya seorang saja dalam seribu yang mungkin berguna.” Kemudian disesalkannya mereka yang meninggalkan syaikh itu dan dikatakannya bahwa seharusnya mereka jadi orang-orang Nasrani pula demi syaikh itu. Tambahnya, “Kawan harus tetap menjadi kawan. Dalam kesusahanlah kalian akan mengetahui pada siapa kalian dapat menggantungkan diri; sebab dalam kebahagiaan kalian akan mempunyai seribu kawan. Kini di saat syaikh itu jatuh ke rahang buaya setiap orang menjauhkan diri darinya agar tetap dapat menjaga nama baik mereka sendiri. Bila kalian jauhi dia karena peristiwa yang aneh ini, mestinya kalian harus diuji dan dinyatakan lemah.”
“Kami menawarkan diri untuk tinggal bersama dia,” kata mereka, “dan malah bersedia pula untuk menjadi penyembah patung. Tetapi ia orang yang berpengalaman dan bijak, dan kami percaya padanya, sehingga ketika ia mengatakan pada kami agar pergi, kami pun kembali ke sini.”
Sahabat yang setia itu menjawab, “Bila kalian benar-benar ingin berbuat, kalian harus mengetuk pintu Tuhan; maka dengan doa, kalian akan diterima di hadirat-Nya. Mestinya kalian bermohon pada Tuhan buat syaikh kalian, masing-masing dengan doa sendiri; dan mengetahui keadaan kalian yang bingung, Tuhan tentu akan mengembalikan dia pada kalian. Mengapa kalian enggan mengetuk pintu Tuhan?”
Mendengar itu, mereka pun malu mengangkat kepala. Tetapi sahabat setia itu berkata, “Kini bukan saatnya untuk menyesal. Mari kita pergi ke rumah Tuhan. Mari kita baring di debu dan menyelubungi diri kita dengan pakaian doa permohonan agar kita dapat menyembuhkan pemimpin kita!”
Murid-murid itu pun segera berangkat ke Yunani, dan setiba di sana tinggal berada di dekat syaikh.
Empat puluh hari empat puluh malam mereka berdoa. Selama empat puluh hari empat puluh malam ini mereka tidak makan dan tidak tidur; mereka tak mengenyam roti maupun air. Akhirnya kekuatan doa orang-orang yang tulus ini terasa di langit. Para malaikat dan para pemimpin malaikat, dan sekalian Orang Suci yang berjubah hijau di puncak-puncak bukit dan di lembah-lembah, kini berdandan, dengan pakaian berkabung. Panah doa itu telah mencapai sasarannya. Ketika pagi tiba, angin sepoi yang membawa bau kesturi berhembus halus menimpa sahabat setia yang sedang berdoa dalam biliknya, dan dunia pun tersingkap di muka mata batiniyah. Ia melihat Nabi Muhammad datang mendekat, gemilang bagai pagi, dua ikal rambutnya tergerai di dadanya; bayang-bayang Tuhan ialah matahari wajahnya, damba seratus dunia terikat pada setiap helai rambutnya. Senyumnya yang ramah menarik semua orang kepadanya. Sahabat setia itu bangkit dan berkata, “O Rasulullah, pemimpin sekalian makhluk, tolonglah kami! Syaikh kami telah sesat. Tunjukkan jalan padanya, kami mohon pada Tuan dengan nama Tuhan Yang Maha Tinggi!”
Muhammad bersabda, “O kau yang melihat segala sesuatu dengan mata batin, berkat usahamu maka hasrat-hasratmu yang suci dikabulkan. Antara syaikh dan Tuhan sudah lama ada noda hitam, aku telah melimpahkan embun doa permohonan dan telah menebarkannya di debu hidupnya. Ia telah bertaubat dan dosanya pun terhapus. Kesalahan-kesalahan dari seratus dunia pun dapat lenyap dalam uap saat pertaubatan. Bila lautan rasa persahabatan menggerakkan ombak-ombaknya terhapuslah dosa laki-laki dan wanita.”
Sahabat setia itu berseru gembira, membuat seluruh langit bergetar. Ia berlari menyampaikan kabar gembira itu pada kawan-kawannya, lalu sambil menangis karena gembiranya ia bergegas ke tempat di mana syaikh menjaga babi-babinya. Tetapi syaikh itu laksana api, laksana orang yang diterangi cahaya. Ia telah melepaskan tali pinggang Nasraninya, membuang ikat pinggang itu, merobek kerudung kemabukan dari kepalanya dan meninggalkan kenasraniannya. Ia merasa dirinya sebagai semula, dan sambil mengucurkan airmata penyesalan diangkatnya kedua belah tangannya ke langit; segala yang telah ditinggalkannya –Al-Quran, segala kerahasiaan dan ramalan, datang kembali padanya, dan ia pun terbebas dari nestapa dan kebodohannya.
Mereka berkata padanya, “Inilah saat bersyukur. Nabi telah mengantara bagi Tuan. Bersyukurlah pada Tuhan yang telah mengangkat Tuan dari lautan kegelapan dan menempatkan kaki Tuan di Jalan Terang.”
Segera setelah itu, syaikh itu pun mengenakan kembali khirkanya, melakukan sesuci, dan kemudian berangkat ke Hejaz.
Sementara yang demikian itu terjadi, si gadis Nasrani dalam mimpinya melihat matahari turun kepadanya, dan mendengar kata-kata ini, “Ikuti syaikhmu, peluk agamanya, jadilah debunya. Kau kotor, jadilah suci seperti dia kini. Kau telah membawa dia ke jalanmu, sekarang ikuti jalan yang ditempuhnya.”
Ia pun terjaga; cahaya merekah menerangi jiwanya, dan timbul keinginannya hendak pergi mencari. Tetapi ketika disadarinya bahwa ia seorang diri saja, dan tak tahu jalan, maka kegembiraannya berubah menjadi kesedihan dan ia pun lari ke luar hendak membuang keresahan dalam pikirannya. Kemudian ia pun berangkat mencari syaikh dan murid-muridnya; tetapi dalam keadaan letih dan bingung, bersimbah peluh, ia menjatuhkan dirinya ke tanah dan berseru, “Semoga Tuhan Sang Pencipta mengampuni diriku! Aku perempuan, muak dengan hidup ini. Jangan kecewakan aku lantaran telah menyengsarakanmu karena kebodohanku, dan lantaran kebodohan itu telah banyak kuperbuat kesalahan. Lupakan kejahatan yang telah kuperbuat. Kini aku mengakui Kepercayaan yang benar.”
Suara batin membuat syaikh tahu akan seruan itu. Ia pun berhenti dan katanya, “Gadis remaja itu bukan kafir lagi. Cahaya telah datang padanya dan ia telah mengikuti Jalan kita. Mari kita kembali. Dapatlah kini mengikatkan diri dengan mesra pada patung pujaan itu4 tanpa dosa.”
Tetapi sahabat-sahabatnya berkata, “Kini apalah gunanya segala taubat dan penyesalan “Tuan! Hendak kembalikah Tuan pada kekasih Tuan?” Syaikh itu pun memberitahukan pada mereka tentang suara yang telah didengarnya, dan mengingatkan mereka bahwa ia telah meninggalkan sikapnya yang lama. Maka mereka pun kembali hingga tiba di tempat gadis itu terbaring. Wajah gadis itu telah berwarna kuning keemasan, kakinya telanjang, pakaiannya koyak-moyak. Ketika syaikh membungkuk padanya, gadis itu pingsan. Ketika ia sadar kembali, airmatanya jatuh bagai embun dari bunga-bunga mawar, dan ia pun berkata, “Aku merasa begitu malu karena kau. Singkapkan tabir rahasia itu dan ajarkan Islam padaku agar aku dapat berjalan di Jalan itu.”
Ketika patung pujaan yang jelita ini akhirnya tergolong di antara orang-orang yang beriman, para sahabat syaikh itu mengucurkan airmata kegirangan. Tetapi hati gadis itu tak sabar menunggu pembebasan dirinya dari kesedihan. “O, Syaikh,” katanya, “kekuatanku lenyap. Aku ingin meningggalkan dunia yang berdebu dan bising ini. Selamat tinggal, Syaikh San’an. Aku mengakui segala kesalahanku. Maafkan aku, dan biarlah aku pergi.”
Maka alkamar keindahan ini, yang telah menempuh separoh dari hidupnya, mengiraikan hidup itu dari tangannya. Matahari bersembunyi di balik awan sementara ruh jelita gadis itu melepaskan diri dari jasadnya. Dia, setitik air di lautan khayali, telah kembali ke lautan hakiki.
Kita semua akan berlalu bagai angin; dia telah pergi dan kita pun bakal pergi pula. Peristiwa-peristiwa demikian sering terjadi di jalan cinta. Ada keputusasaan dan belas kasihan, angan-angan dan kepastian. Meskipun jasad nafsu tak dapat memahami rahasia-rahasia itu, namun kemalangan tak mungkin memukul-lepas bola polo kemujuran. Kita harus mendengar dengan telinga hati dan pikiran, bukan dengan telinga jasmani. Pergulatan jiwa dan jasad nafsu tiada akhirnya. Merataplah! Karena ada alasan buat berduka.
Burung-burung Membicarakan Perjalanan Menuju Simurgh Seperti yang Disarankan Itu
Setelah mereka merenungkan kisah Syaikh San’an, burung-burung itu pun memutuskan untuk meninggalkan segala cara hidup mereka yang lama. Pikiran tentang Simurgh membangkitkan mereka dari kelesuan jiwa; hanya cinta terhadapnya semata yang memenuhi hati mereka, dan merekapun mulai mempertimbangkan bagaimana memulai perjalanan itu.
Mereka berkata, “Lebih dulu kita harus mempunyai petunjuk jalan yang akan mengurai menyimpulkan persoalan. Kita membutuhkan pemimpin yang akan mengatakan pada kita apa yang harus diperbuat, pemimpin yang dapat menyelamatkan kita dari laut dalam ini. Kita akan mematuhinya dengan setulus hati dan melakukan apa yang dikatakannya, baik yang menyenangkan maupun yang tak menyenangkan, agar bola kita akan jatuh di tongkat Pegunungan Kaukasus.1 Kemudian zarrah akan menjadi satu dengan matahari yang agung itu; dan bayang-bayang Simurgh akan jatuh pada kita. Kini, mari kita menarik undian untuk memilih pemimpin. Kepada siapa undian itu jatuh, dia akan menjadi pemimpin kita; dia akan jadi besar di antara yang kecil.”
Lalu mulai terjadi keributan, setiap mereka segera bicara, tetapi ketika segala sesuatu sudah siap, siul dan ocehan pun terhenti mati, dan burung-burung itu terdiam sunyi. Penarikan undian dilakukan dengan upacara, dan kebetulan undian jatuh pada Hudhud yang bersemangat itu. Dengan bulat mufakat semua menyetujui dan berjanji akan mematuhi Hudhud meskipun dengan mempertaruhkan hidup mereka, dan tak akan sayang berkorban jiwa maupun raga. Hudhud tampil ke muka dan sebuah mahkota pun dikenakan di kepalanya.
Di tempat yang ditentukan, begitu banyak jumlah burung yang berkumpul di sana sehingga tertutuplah bulan dan ikan karenanya. Tetapi ketika mereka melihat jalan masuk ke lembah pertama, mereka pun terbang membubung ke awan dengan takut. Tetapi dengan kepak sayap dan lar yang lebih bergairah, hasrat untuk meninggalkan segalanya pun hidup kembali. Tetapi tugas di muka mereka berat dan jalan pun panjang. Kesunyian mengeram di jalan yang membentang di hadapan dan seekor burung pun bertanya pada Hudhud mengapa begitu lengang. “Karena hormat yang ditimbulkan sang Raja maka jalan yang menuju ke tempat persemayamannya begitu lengang,” jawab Hudhud.