Hadis dikeluarkan oleh Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa melihatku sewaktu tidur, maka dia akan melihatku dalam keadaan terjaga. Dan setan tidak bisa menyerupai diriku.”
Pada tahun 1196 H As-Syeh Ahmad Tijany saat memperoleh karunia Al-Fathul Akbar berjumpa dengan Rosulullah SAW yaqazhah (dlm keadaan jaga) bersabdakulah : ” Tidak ada pemberian untuk guru-guru thoriqoh atas kamu. Maka akulah perantara dan pembimbingmu. Karena itu, tinggalkanlah semua yang kamu ambil dari semua thoriqot”.
Dan juga bersabda ” tekunilah thariqah ini tanpa khalwat sampai kamu mencapai kedudukan yang telah dijanjikannya dan kamu tetap atas hal keadaanmu tanpa kesempitan, tanpa susah dan tanpa berpayah-payah, maka tinggalkanlah semua para wali. Dan sejak itu As-Syeh tidak pernah lepas dari Rosulullah. Dan beiau As-Syeh mendapat martabat Al-Khatmul Muhammadiyatul Ma’lum atau penutup puncak martabat kewalian.
Dituturkan dari ulama salaf dan khalaf serta seterusnya, mengenai sebagian jamaah atau golongan yang pernah bermimpi berjumpa dengan Rasulullah saw, dan mereka adalah orang-orang yang membenarkan hadis ini, kemudian mereka melihat Rasulullah saw dalam keadaan jaga. Bahkan, mereka menanyakan berbagai hal yang sulit bagi mereka kepada Nabi. Kemudian Nabi memberikan jalan keluar dengan berbagai macam segi arahan yang bisa menjadi solusi atas permasalahan mereka. Begitulah keterangannya tanpa menambah atau mengurangi.
Ia menuturkan: “Adapun orang yang mengingkari hai ini tidaklah terlepas dari; apakah ia membenarkan tentang karomah-karomah para wali atau mendustakannya. Jika orang tersebut termasuk golongan orang yang mendustakannya, tentulah tidak ada faedahnya membahas masalah ini bersamanya. Sebab, ia telah mendustakan hal yang telah ditetapkan oleh sunnah dengan argumen (dalil-dalil) yang jelas. Dan jika orang tersebut termasuk orang yang membenarkan terhadap karamah para wali, segi inilah yang dicari. Sebab, para wali adalah orang-orang yang telah mengalami ketersingkapan tirai kehidupan (kasyaf) dan sanggup melakukan sesuatu yang di luar kebiasaan (khariqnl ‘adah) dalam segala hal yang bermacam-macam, baik itu alam atas (ulwa) atau alam bawah (sufla). Dia tidak mengingkari hal tersebut, tapi membenarkannya. Begitulah pendapat Ibn Abi Jamrah.
Adapun selain mereka, ada yang bisa melihati (ru’yah) sepanjang hidup mereka, baik itu dalam kadar yang banyak atau sedikit, tergantung kesungguhan mereka dan juga penjagaan mereka terhadap sunnah. Sebab, melanggar sunnah merupakan penghalang yang dominan.
Imam Muslim dalam Shahihnya meriwayatkan dari Mathraf: Mathraf berkata: ‘Imran bin Husein berkata kepadaku: “Ada malaikat yang’ mengucapkan salam kepadaku sampai aku melakukan al-kayyu; membakar dengan cap besi (menyetrika), kemudian (malaikat itu) meninggalkanku. Lalu aku tinggalkan hal tersebut, barulah malaikat kembali lagi.”
Imam Muslim dalam riwayat lain meriwayatkan dari Mathraf. Mathraf berkata: “Aku menemui ‘Imran bin Husein ra yang sedang sakit sehingga menyebabkan dia meninggal. ‘Imran bin Husein berkata kepadaku, “Aku akan bercerita kepadamu, jika aku sehat maka sembunyikanlah hal itu. Namun jika aku mati, ceritakanlah hal itu kalau engkau mau. Sesungguhnya malaikat itu bersalam kepadaku.”
Imam al-Nawawi ketika menjelaskan makna hadis yang pertama, ia mengatakan: “Bahwa ‘Imran bin Husein menderita penyakit bawasir, dan dia bersabar menanggung penderitaan tersebut, lalu malaikat bersalam kepadanya. Kemudian ‘Imran bin Husein mencap tanda besi (al-kayyu, menyetrika), maka tidaklah malaikat itu bersalam lagi kepadanya. Akhirnya dia tidak lagi menggunakan cap tanda besi, dan malaikat itu kembali lagi bersalam kepadanya.
Adapun dalam hadis yang kedua dinyatakan: “Jika aku hidup, maka sembunyikanlah hal itu,” memiliki arti bahwa dia sebenarnya ingin memberitahu kalau malaikat bersalam kepadanya, hanya saja dia khawatir cerita itu akan tersebar padahal ia masih hidup. Sebagai antisipasi timbulnya fitnah, berbeda dengan jika ia sudah meninggal.
Imam Qurthubi menjelaskan mengenai hadis yang diriwayatkan Muslim di atas: “Bahwasanya malaikat bersalam kepada ‘Imran bin Husein sebagai bentuk penghormatan, dan melarangnya melakukan cap besi. Ketika Imran bin Husein melakukannya, malaikat meninggalkan salam kepadanya. Dalam hal ini tampak jelas tentang karamah para wali.”
Dalam Mustadraknya, al-Hakim menganggapnya sahih, dari riwayat Mathraf bin Abdillah bin Imran bin Husein ra, ia (‘Imran bin Husein) berkata: “Ketahuilah olehmu wahai Mathraf, bahwasanya malaikat bersalam kepadaku dari sisi kepalaku, dari sisi rumah, dan dari sisi pintu kamar. Ketika aku (berobat) dengan cap besi, salam tersebut hilang. Dan ketika aku tidak lagi (berobat) dengan mencap besi, salam itu kembali lagi.” Mathraf mengatakan: “Kemudian ‘Imran bin Husein sesudah sembuh ia berkata: “Ketahuilah olehmu, wahai Mathraf, bahwa hal -yang aku sembunyikan (melihat Malaikat)- itu kembali lagi, sembunyikanlah hal itu sampai aku meninggal.” Lihatlah! Bagaimana ‘Imran bin Husein terhijab dari mendengar salam malaikat sebab ia (berobat) dengan mencap besi ”padahal dalam keadaan terpaksa” sebab perbuatan itu menyalahi sunnah.
Imam al-Baihaqi dalam kitab Syu’ubil al-Iman menyatakan: “Sekiranya (berobat) mencap dengan besi itu merupakan hal yang jelas haram, tentulah ‘Imran bin Husein tidak akan melakukannya, sebab ia mengetahui pelarangan hal tersebut. Dia hanya melakukan hal yang dimakruhkan, namun malaikat yang biasanya bersalam kepadanya telah meninggalkannya. Kemudian Imran bin Husein bersedih. Selanjutnya, Baihaqi berkata: “Ucapan ini sudah ditakdirkan, dan sepertinya malaikat kembali lagi sebelum Imran bin Husein meninggal.”
Ibn Atsir alam kitab al-Nihayah berpendapat bahwa malaikat bersalam kepadanya, ketika Imran bin Husein iktawa (mencap dengan besi atau menyetrika) disebabkan oleh sakitnya, para malaikat meninggalkan salam kepadanya sebab mencap dengan besi menghilangkan kepasrahan dan penyerahan diri (taslim) kepada Allah SWT dan menjauhi kesabaran atas hal yang menimpa hamba. Adapun mencari obat sebagai usaha seorang hamba tidaklah jelek dalam hal diperbolehkannya mencap dengan besi. Namun, menurut kacamata ketawakalan, hal tersebut tidaklah pantas. Padahal tawakal itu adalah derajat tinggi yang melatarbelakangi sebab-sebab yang langsung (mubasyaratul asbab).
Ibn Sa’ad dalam al-Thabaqat meriwayatkan dari Qatadah: “Bahwasanya malaikat selalu menaungi ‘Imran bin Husein hingga ia melakukan cap dengan besi (menyetrika), kemudian malaikat meninggalkannya.”
Abu Nua’im dalam ad-Dalail meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id al-Qathan: “‘Tidak ada dari sahabat-sahabat Basrah seluruhnya yang lebih utama dibandingkan dengan Imran bin Husein, dia didatangi malaikat selama kurun 30 tahun, bersalam kepadanya dari sekitar rumahnya.”
Al-Turmudzi dalam Ta’rikhnya dan Abu na’im serta Baihaqi dalam Dala’il al-Nubuwah meriwayatkan dari ‘Adalah, dia berkata: “Adalah Imran bin Husein ra menyuruh kami masuk ke rumahnya, dan kami mendengar suara Assalamu’alaikum, Assalamu’alaikum, dan kami tidak melihat seorang pun.” Al-Turmudzi berkata: “Ini adalah salam dari malaikat.”
Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab al-Munqidz min al-Dhalal mengatakan, “Setelah aku selesai dari berbagai macam ilmu, selanjutnya aku mengonsentrasikan diri pada jalan sufi dan berusaha mengambil manfaat darinya. Aku yakin bahwa orang-orang sufi itu adalah orang-orang yang menempuh jalanNya. Dan bahwasanya sirah (perjalanan) mereka adalah sebaik-baik perjalanan, dan thariqah mereka adalah sebaik-baik thariqah, serta akhlak mereka adalah sebaik-baiknya akhlak. Bahkan, sekiranya pemikiran para pemikir, hikmah para ahli bijak, dan pengetahuan orang-orang yang memperdalam ilmu syar’i dari para ulama, berkumpul untuk mengubah sepenggal dari sirah dan akhlak mereka dan berusaha menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik dari itu, mereka tidak akan menjumpai jalan itu. Sebab, seluruh gerak-gerik dan diam mereka, baik zhahir maupun batin, berselimutkan cahaya miskat kenabian. Dan tidaklah ada di belakang cahaya-cahaya kenabian di muka bumi ini cahaya yang lebih terang dibandingkan dengan cahaya kenabian. Hingga sampai dikatakan: “Sampai-sampai mereka di dalam keterjagaan-nya menyaksikan malaikat dan ruh-ruh para nabi serta mendengarkan dari mereka itu suara-suara yang bisa mereka ambil faedah-faedahnya. Kemudian mendaki lagi dan menyaksikan bentuk-bentuk dan amtsal (contoh-contoh) kederajat-derajat yang sulit untuk diungkapkan oleh lisan.” Ini perkataan al-Ghazali.
Murid Imam Ghazali, al-Qadhi Abu Bakar bin al-‘Arabi, salah seorang imam dalam madzab Maliki, dalam kitabnya Qanun al-Ta’wil berpendapat mengenai kesufian: “Bahwasanya jika manusia berhasil menyucikan nafsu, membersihkan hati, memutus ketergantungan-keter-gantungan, serta mencegah materi keduniawian dari jin, harta, bercampur dengan sesama, dan menghadapkan diri kepada Allah SWT dengan sepenuhnya (kulliyah) dengan segenap pengetahuan dan amal yang berkesinambungan, maka hatinya akan kasynf (terbuka) dan melihat malaikat, mendengar pembicaraan mereka, tampak jelas ruh-ruh para nabi, serta mendengar pembicaraan mereka.”
Menurut pendapat Ibn al-‘Arabi: “Melihat para nabi dan malaikat serta mendengar pembicaraan mereka adalah hal yang mungkin bagi orang mukmin sebagai bentuk karamah, sedang bagi orang kafir merupakan ‘uaubah (siksa/ bencana).”
Syeikh Izzuddin bin ‘Abdus Salam dalam kitabnya al-Qawa’id al-Kubra dan Ibn al-Hajj dalam kitabnya al-Madkhal berpendapat: “Ru’yah (melihat) Nabi saw dalam keadaan terjaga merupakan suatu hal yang rumit dan sedikit sekali orang yang mengalaminya, melainkan hanya orang-orang yang memiliki sifat ‘aziz (mulia) pada masa ini. Bahkan, hampir-hampir tidak ada. Namun kita tidak mengingkari orang yang mengalaminya, yakni al-kabir (orang besar dalam pandangan Allah) yang dijaga oleh Allah SWT, baik segi zhahir maupun batin mereka.”
Selanjutnya Abu Muhammad bin Abi Jamrah berkata: “Sebagian ulama zhahir mengingkari fenomena melihat Nabi saw secara terjaga. Mereka beralasan bahwa mata yang semu (‘ainul faniyah) tidak akan mampu melihat sesuatu yang abadi (‘ainul baqiyah). Nabi Muhammad saw berada di negeri keabadian, sedangkan orang yang melihat beliau berada di alam fana.”
Abu Muhammad bin Abi Jamrah menjawab persoalan ini dengan mengatakan: “Bahwasanya orang mukmin jika meninggal dia akan melihat Allah SWT. Dia pada dasarnya tidak mati. Bahkan, salah seorang di antara mereka meninggal setiap harinya tujuh puluh kali.”
Al-Qadhi Syarafuddin Hibbatullah bin ‘Abdur Rahim al-Barazi dalam kitabnya l’iiaadul al-Anbiya ‘Alaihimus Salam berkata: “Setelah ruh-ruh itu dicabut kemudian dikembalikan lagi, mereka itu hidup di sisi Tuhan seperti para syuhada.”
Ada sekelompok orang yang melihat Nabi kita Muhammad saw dan Nabi mengabarkan bahwa shalawat dan salam yang mereka persembahkan sampai kepada beliau. Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi untuk memakan daging para nabi as.
Al-Barazi mengatakan: “Ada kabar dari sekelompok jamaah dari wah pada masa ini dan sebelumnya, bahwasanya mereka melihat Nabi saw secara terjaga. beliau hidup setelah wafatnya.” Al-Barazi melanjutkan, “Hal itu dituturkan oleh al-Syeikh al-Imam Syeikhul Islam Abui Bayan Naba’ bin Muhammad bin Mahfuzh al-Dimsyiqi] dalam Nadhimahnya.”
Syeikh Akmaluddin al-Babarti al-Hanafi dalam syarah al-Masyariq mengenai hadis man ro’ani mengatakan: “Berkumpulnya dua orang, baik secara terjaga maupun saat tidur, untuk mencapai ma’iyyatul ittihad (kebersatuan), bagi mereka ada lima dasar, yakni secara kulliyatul istirak (keseluruhan kesamaan), baik dalam dzat atau dalam sifat seterusnya, atau dalam hal seterusnya atau dalam af’al (perbuatan), atau dalam maratib (urut-urutan). Dan seluruh hal yang ma’qul dari berkesesuaiannya dua hal atau beberapa hal tidaklah akan keluar dari lima hal di atas. Dan tidak terlepas juga dengan seberapa kuat perbedaan atau sedikitnya perbedaan itu menjadikan intensitas pertemuan semakin banyak atau sedikit, dan terkadang bertambah kuat mengalahkan sebaliknya, yakni semakin kuatnya mahabbah. Sehingga, hampir-hampir dua orang tersebut tak terpisahkan, dan terkadang sebaliknya. Dan barangsiapa yang berhasil mencapai lima dasar hal di atas dan kontinyu dalam kesesuaian antara dirinya dan ruh-ruh suci (yang sempurna) dari orang-orang terdahulu, maka ia akan mampu berkumpul dengan mereka kapan pun ia mau.”
Syeikh Shafiyyuddin Ibn Abil Mansur dalam Risalahnya dan Syeikh Afifuddin al-Yafi’i dalam kitabnya Raudhur Riydhin menukil riwayat bahwasanya Syeikh al-Kabir panutan syeikh-syeikh yang ‘arifbillah, dan berkah zamannya Abu ‘Abdillah al-Qurasy mengatakan: “Ketika datang bencana besar melanda daerah Mesir, aku bertawajjuh untuk berdoa, kemudian aku mendengar suara yang mengatakan: “Tidak usah engkau berdoa, tidaklah ada doa yang didengarkan dari salah seorang kalian dalam kejadian ini.” Selanjutnya aku pergi ke daerah Syam. Ketika aku berada di halaman luarnya al-Khalil as, maka al-Khalil menemuiku, kemudian aku berkata: “Ya Rasulullah, jadikanlah jamuanmu padaku dengan doa untuk penduduk Mesir.” Kemudian al-Khalil berdoa, dan ternyata Allah memberikan kemudahan/ kelapangan bagi penduduk Mesir.”
Al-Yafi’i mengatakan: “Ucapan Syeikh ‘Abdullah al-Qurasy bahwa al-Khalil menemuiku” adalah ucapan yang benar, yang tidak bisa disanggah, kecuali orang yang jahil (bodoh) memahami hal yang terjadi atas mereka, yakni mengenai hal-ihwal yang mereka saksikan tentang kerajaan langit dan bumi dan melihat para nabi hidup, bukannya meninggal sebagaimana melihatnya Nabi Muhammad saw kepada Nabi Musa as di bumi dan melihatnya juga di langit, bersama sekelompok para nabi di langit, dan mendengar ceramah-ceramah mereka. Dan telah ditegaskan bahwa apa yang boleh (jaiz) bagi para nabi sebagai mukjizat, maka hal itu jaiz juga bagi para wali dengan karamah, dengan syarat tidak adanya at-tahaddy (pendakwahan dengan risalah dan tiadanya penentangan atau perlawanan kepada yang menentang-penterjemah).
Imam Ahmad dalam Musnadnya mengeluarkan suatu riwayat, dan al-Kharaiti dalam Maknrimul Akhlaq melalui Abi al-‘Aliyah dari riwayat seseorang dari kalangan Anshar, ia berkata: “Aku keluar meninggalkan keluargaku untuk menemui Nabi saw. Beliau sedang berdiri dan ada seseorang yang bersama beliau menghadapnya. Aku mengira bahwa antara keduanya ada keperluan. Kemudian orang Anshar tersebut berkata: Nabi saw berdiri sampai aku merasa kasihan kepada beliau sebab lamanya berdiri. Ketika Nabi telah berpaling, aku bertanya kepada beliau, “Ya Rasulullah, orang ini telah berdiri bersama engkau sampai aku merasa kasihan terhadap engkau karena lamanya berdiri.” Nabi menjawab, “Apakah engkau melihatnya? Dia adalah Jibril, tidak henti-hentinya beliau berwasiat kepadaku mengenai tetangga, sampai aku menyangka bahwa tetangga itu akan mewarisi sesuatu dariku.” Selanjutnya Nabi bersabda, “Adapun engkau jika bersalam (ke Jibril) ia akan membalas salammu.”
Al-Mudni dalam al-Ma’rifat mengeluarkan suatu riwayat dari Tamim bin Salmah ra, ia berkata: “Ketika aku berada di sisi Nabi saw, seorang laki-laki yang berada di samping beliau tiba-tiba pergi, kemudian aku melihatnya sedang membelakangi dengan imamah (surban) yang dilepas dari arah belakangnya. Aku berkata, “Ya, Rasulullah, siapakah orang ini?” Nabi menjawab, “Ini adalah Jibril.”
Ahmad dan at-Thabrani serta Baihaqi dalam al-Dalail mengeluarkan suatu riwayat dari Haritsah bin an-Nu’man ra ia mengatakan: “Saya bertemu dengan Rasulullah, beliau bersama dengan Jibril, kemudian aku mengucapkan salam kepada keduanya lalu aku melewati keduanya. Kemudian Nabi menghampiri seraya berkata, “Apakah engkau melihat orang yang bersamaku?” Aku menjawab, “Benar.” Kemudian Nabi berkata, “Sebenarnya dia itu Jibril, dia telah menjawab salammu.”
Ibn Sa’ad meriwayatkan dari Haritsah ra, ia berkata: “Aku melihat Jibril dua kali sepanjang masa.” Imam Ahmad dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibn ‘Abbas ra, ia berkata: “Aku bersama ayahku berada di samping Rasulullah saw. Saat itu di sisi Rasulullah ada seorang laki-laki yang sedang membisikinya. Orang itu seolah-olah membelakangi ayahku. Kemudian kami keluar, lalu ayahku berkata kepadaku, “Wahai anakku, apakah engkau melihat kepada anak pamanmu seolah-olah membelakangiku?” Aku menjawab, “Benar ayah, di samping beliau ada seseorang yang sedang membisikinya.” Kemudian ayahku kembali menemui Rasulullah dan berkata, “Ya Rasulullah, aku berkata kepada ‘Abdullah begini, begini. Dia menjawab, “Benar bahwa di samping engkau ada seseorang yang sedang membisiki, apakah benar di sampingmu ada seseorang?” Nabi menjawab, “Apakah engkau melihatnya wahai Abdullah?” Aku menjawab, “Benar.” Rasulullah berkata, “Itu adalah Jibril, dialah yang menghalangiku darimu.”
Ibn Sa’ad meriwayatkan dari Ibn ‘Abbas ra, ia berkata: “Aku melihat Jibril dua kali.” Imam at-Thabrani, al-Baihaqi, dan al-Dhabba’ dalam al-Mukhtarah mengatakan: “Rasulullah saw menjenguk seseorang dari kalangan Anshar, ketika telah hampir dekat dengan rumahnya, beliau mendengar orang yang di dalam sedang bercakap-cakap. Ketika beliau mendekat, beliau tidak melihat seorang pun di dalam, lalu beliau bertanya, “Dengan siapa engkau tadi bercakap-cakap?” Sahabat tersebut menjawab, “Wahai Rasulullah, telah datang ke rumahku seseorang. Tidaklah aku melihat seorang pun setelah engkau yang lebih mulia di dalam majelisnya dan lebih baik bicaranya dibanding dia.” Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Itu adalah Jibril. Sesungguhnya di antara kalian ada beberapa orang yang sekiranya salah seorang di antara mereka itu feer-qasam (bersumpah) kepada Allah, pasti akan diterimanya. “
Syeikh Sirajuddin bin al-Mulqan dalam kitabnya Thabaaatul Awliya’ menyebutkan: “Syeikh ‘Abdul Qadir al-Kailani berkata, “Aku melihat Rasulullah saw sebelum Zhuhur, beliau berkata kepadaku, “Wahai anakku, mengapa engkau tidak segera berceramah?” Aku menjawab, “Duhai Abatah (Ayah), aku adalah seorang ‘ajam (bukan Arab). Bagaimana aku akan berbicara dengan orang-orang Baghdad yang fasih-fasih.” Lalu beliau berkata, “Bukalah mulutmu.” Kemudian aku membuka mulutku lalu beliau meludahiku sebanyak tujuh kali. Kemudian beliau bersabda, “Berbicaralah kepada manusia dan ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan mauizhah (pesan-pesan) yang baik.” Kemudian aku menunaikan shalat Zhuhur dan duduk, tiba-tiba berduyun-duyun orang yang banyak mendatangiku, dan aku melihat Sayyidina Ali ra berdiri di depanku dalam majelis itu. Kemudian Sayyidina Ali ra berkata kepadaku, “Wahai anakku, mengapa engkau tidak segera berbicara?” Aku menjawab, “Wahai Abatah (Ayah), mereka berduyun-duyun datang kepadaku.” Kemudian dia berkata, “Bukalah mulutmu.” Kemudian aku membuka mulutku, lalu dia meludahiku sebanyak enam kali, kemudian aku bertanya, “Mengapa tidak engkau sempurnakan menjadi tujuh kali?” Beliau menjawab, “Adab kepada Rasulullah.” Selanjutnya beliau lenyap dari pandanganku. Kemudian aku berkata, “Menyelam dalam pemikiran, kemudian menyelam dalam lautan hati mencari mutiara-mutiara kaum ‘arifin. Kemudian dikeluarkan ke pinggir shadr (hati), kemudian mengundang agen penerjemah lisan, dibelinya hal itu dengan nafais isman (napas-napas berharga), yakni baiknya ketaatan di bilik-bilik yang Allah izinkan untuk didaki.”
Dia juga berkomentar dalam terjemah Syeikh Khalifah bin Musa al-Hadzailaki, bahwa dia sering melihat Rasulullah saw baik dalam keadaan jaga maupun tidur. Sampai dikatakan bahwa kebanyakan pertemuannya dengan Nabi atas amr (perintali/keinginan) beliau saw baik secara terjaga maupun pada saat tidur. Dia melihat Rasulullah dalam satu hari semalam sebanyak tujuh belas kali. la mengatakan, salah satunya beliau Rasulullah saw berkata: “Ya Khalifah, janganlah engkau gelisah, sebab betapa banyak para wali yang meninggal sebab sedih melihatku.”
Al-Kamal al-Adfawi dalam bukunya at-Thali’us Sa’id mengenai terjemah al-Shafi Ibn ‘Abdillah Muhammad bin Yahya al-Aswani yang tinggal di daerah Akhmim termasuk salah seorang sahabat Abi Yahya bin Syah’i, dia adalah orang yang terkenal akan keshalehannya, dia memiliki kemampuan kasyaf dan banyak sekali karamahnya. Adapun yang menulis tentang dirinya adalah Ibn Daqiq al-‘id dan Ibn al-Nu’man serta Quthub al-Qusthalani, disebutkan bahwa ia melihat Nabi saw dan berkumpul bersama beliau.
Syeikh Abdul Ghaffar bin Nuh al-Qusy dalam kitabnya al-Wahid, beliau adalah salah seorang sahabat dari Syeikh Abi Yahya Abi Abdillah al-Aswani yang tinggal di daerah Akhmim, beliau mengabarkan bahwa dirinya melihat Nabi saw pada setiap jam sampai hampir-hampir belum sampai satu jam kecuali dia diberitahu sejam sebelumnya.
Dalam kitab al-Wahid juga disebutkan: “Adalah Syeikh Abui ‘Abbas al-Mursiy mempunyai wuslah (hubungan khusus) dengan Nabi saw. Jika ia bersalam kepada Nabi saw, beliau pasti akan membalasnya dan menjawab ketika berbicara bersama beliau. Syeikh Tajuddin bin Athaillah dalam kitabnya Lathaiful Minan menceritakan bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Syeikh Abui Abbas al-Mursiy, “Wahai Tuanku, jabatlah tanganku ini, sebab engkau telah bertemu dengan banyak rijal (tokoh-tokoh) dan berkeliling ke negeri-negeri yang banyak.” Syeikh Abui Abbas al-Mursiy menjawab, “Demi Allah, belumlah ada yang menjabat tanganku ini melainkan Rasulullah saw.” beliau melanjutkan, “Sekiranya aku terhijab (terhalangi) dari Rasulullah sekejap mata pun, tidaklah aku menilai diriku termasuk orang Islam.”
Syeikh Shafiyuddin bin Abil Mansur dalam Risalahnya dan Syeikh ‘Abdul Ghaffar dalam al-Wahid mengatakan: “Diceritakan dari Syeikh Abil Hasan al-Wanani ia berkata: “Telah mengabarkan padaku Syeikh Abui ‘Abbas at-Thabkhi, ia berkata, “Saya menemui tuanku Ahmad bin al-Rifa’i, namun ketika bertemu ia berkata kepadaku, “Aku bukanlah syeikhmu. Syeikhmu adalah ‘Abdur Rahim di daerah Qina.” Selanjutnya aku menuju daerah Qina, dan masuk menemui Syeikh’ Abdur Rahim. Ia bertanya kepadaku, ” Apakah engkau sudah ma’rifat (mengetahui) Rasulullah saw?” Aku menjawab, “Belum.” Ia berkata, “Pergilah engkau ke Baitul Maqdis sampai engkau tahu (ma’rifat) Rasulullah.” Kemudian’ aku pergi ke Baitul Maqdis. Ketika aku menginjakkan kaki di sana, tiba-tiba di langit, bumi, Arsy dan Kursy penuh dengan Rasulullah. Kemudian aku kembali menemui Syeikh. Ia bertanya kepadaku, “Apakah engkau telah ma’rifat (mengetahui) Rasulullah?” Aku menjawab, “Benar.” Ia menyambung, “Sekarang thariqahmu telah sempurna. Tidaklah para wali quthub menjadi wali quthub, para wali autad menjadi wali autad, dan para wali menjadi wali melainkan mereka ma’rifat terhadap Rasulullah saw.”
Syeikh ‘Abdul Ghaffar mengatakan dalam kitabnya al-Wahid: “Salah seorang yang aku ketahui (akan kewaliannya) di Mekkah adalah Syeikh ‘Abdullah ‘Ad-Dalasi. Ia bercerita kepadaku bahwa ia merasa semua shalat dalam umurnya tidaklah sah kecuali sekali shalat saja. Ia meneruskan, “Itu terjadi saat aku berada di Masjidil Haram pada waktu shalat Shubuh. Ketika imam bertakbiratul ihram dan aku melakukannya, tiba-tiba ada kekuatan yang menarikku, di sana aku melihat Rasulullah sedang melakukan shalat sebagai imam sedang di belakangnya ada sepuluh orang. Kemudian aku menyusul shalat bersama mereka. Hal itu terjadi pada 673 H. Rasulullah saw, saat itu, pada raka’at pertama membaca Surat al-Muddatstsir dan pada rakaat yang kedua membaca surat an-Naba’. Setelah selesai salam, beliau berdoa dengan doa ini: “Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan memberikan petunjuk, bukannya orang-orang yang sesat lagi menyesatkan, tidak mengharapkan akan ke-baikanMu dan tidak pula merindukan apa yang ada di sisi-Mu, sebab bagiMulah anugerah kepada kami dengan mewujudkan kami. Sebelumnya kami tidak ada. BagiMu segala puji atas semua itu. Tidak ada Tuhan selain Engkau.” Ketika Rasulullah saw selesai dan bersalam, bersamaan itu juga imam Masjidil Haram salam, dan aku menyadari salamnya. Kemudian aku juga melakukan salam.”
Syeikh Shafiyuddin dalam risalahnya mengatakan: “Syeikh Abui ‘Abbas al-Harar berkata kepadaku, “Aku masuk menjumpai Nabi saw, yang saat itu sedang menulis Manasirul Awliya (daftar para wali) dengan wilayahnya. Beliau menulis salah satu di antara mereka, yaitu saudaraku Muhammad.” Ia melanjutkan, saudaranya itu adalah syeikh besar yang memiliki wilayah (kewalian). Tergambar di wajahnya cahaya yang tidaklah samar bagi seorang pun bahwa dia adalah seorang wali. Kemudian kami tanyakan hal itu padanya. Ia menjawab, bahwa Nabi telaji menghembuskan napas beliau ke arah wajahnya. Dan hembusan beliau itu berbekas berupa cahaya di wajahnya.
Syeikh Shafiyuddin menyatakan: “Aku melihat Syeikh al-Kabir Abu ‘Abdillah al-Qurthubi paling mulia di antara sahabat-sahabat Syeikh al-Qurasyi. Syeikh ini lebih banyak dari umurnya dihabiskan tinggal di Madinah an-Naba-wiyah, ia memiliki hubungan kedekatan dengan Baginda Nabi saw, terbukti dengan salamnya yang selalu dijawab dan dibalas oleh Nabi, serta membawakan surat beliau kepada Raja al-Kamil dan mempersembahkan surat itu ke Mesir, lalu kembali lagi ke Madinah.”
Syeikh Shafiyuddin melanjutkan: “Salah seorang yang aku lihat di Mesir adalah Syeikh Abui’ Abbas al-Qusthalani, sahabat yang paling istimewa dari Syeikh al-Qurasyi dalam hal kezuhudannya di daerah Mesir pada masanya. Waktunya yang paling banyak pada akhir-akhir hidupnya dihabiskan di Mekkah. Ia bercerita, pada suatu ketika ia masuk menemui Nabi saw lalu beliau berkata kepadanya, “Allah telah memegang tanganmu wahai Ahmad.”
Al-Yafi’i dalam Raudhur Riyahin mengabarkan tentang sebagian dari mereka, bahwasanya dia melihat di sekitar Ka’bah ada para malaikat, para nabi, dan para wali, dan yang paling sering terjadi hal itu pada malam Jum’at, begitu juga malam Senin dan Kamis. Maka aku menghitung betapa banyak jamaah dari para nabi. Disebutkan pula bahwa setiap dari para nabi tersebut menempati tempat tertentu, duduk di sekitar Ka’bah. Dan duduk-duduk beserta mereka para pengikutnya dari keluarga, kerabat, dan para sahabat. Disebutkan pula, bahwa nabi kita Muhammad saw berkumpul bersama dengan para wali yang tak terhitung jumlahnya, hanya Allah saja yang tahu, di mana para nabi lainnya tidak sebesar itu jumlahnya. Diceritakan juga bahwa Ibrahim dan keturunannya duduk-duduk dekat dengan pintu Ka’bah di sisi dasar maqamnya yang sudah masyhur. Musa beserta para nabi berada di antara dua Rukun Yamani, sedangkan ‘Isa beserta jamaahnya berada di arah Hajar. Sedang nabi kita Muhammad duduk di Rukun Yamani beserta ahli bait, para sahabat, serta para wah’ dari ummatnya.
Diceritakan dari sebagian para wali: “Pada suatu ketika ada seorang wali menghadiri majelis seorang faqih. Saat itu sang faqih sedang meriwayatkan suatu hadis. Sang wah berkata, “Hadis ini batal.” Si f aqih bertanya, “Dari mana engkau tahu bahwa hadis ini batal?” Si wali menimpali, “Nabi Muhammad, beliau sedang berdiri di sisi belakang kepalamu. Beliau berkata, “Aku tidak mengucapkan hadis ini.” Maka tersingkaplah bagi si faqih dan dia bisa melihat Nabi.”
Dalam kitab al-Mukhid Ilahiyah fi Manakibis Sadah al-Wafaiyah karangan Ibn Faris ia mengatakan: “Aku mendengar tuanku ‘Ali berkata, saat itu aku berumur kurang lebih lima tahun. Aku sedang belajar membaca al-Qur’an pada seseorang, namanya Syeikh Ya’qub. Pada suatu hari aku mendatanginya, tiba-tiba aku melihat Nabi dalam keadaan jaga, bukan mimpi, beliau memakai baju (gamis) dari katun berwarna putih. Kemudian aku melihat gamis itu berada padaku. Beliau berkata kepadaku: “Bacalah olehmu.” Kemudian aku membaca surat ad-Dhuha dan Alam Nasyrah. Kemudian beliau hilang dari pandanganku. Ketika umurku mencapai 21 tahun, aku sedang melakukan takbira-tul ihram di Qurafah. Aku melihat Nabi saw berada di depanku, kemudian beliau merangkulku sambil berkata: Wa amma binikmati rabbika fahaddits. Sejak saat itu, aku (seolah-olah) menerima pesan lisan langsung dari beliau.
Dalam sebagian majami’ disebutkan, Sayyid Ahmad ar-Rifa’i sedang melakukan ibadah haji, ketika berdiri menghadap hujrah (kamar) Nabi yang mulia, ia menyenandungkan syair: Ketika merasa dalam keadaan jauh, maka kuutus ruhku. Bumi telah meninggalkanku, maka jadilah ia sebagai deritaku. Dan inilah bayang-bayang keberuntungan telah hadir. Julurkan tanganmu agar bibirku mendapat keuntungan. Kemudian keluarlah tangan Baginda yang mulia dari dalam kubur, maka aku menyambutnya.
Dalam mu’jam (kumpulan) Syeikh Burhanuddin al-Baqa’i disebutkan: “Telah bercerita kepadaku al-Imam Abui Fadhl bin Abui Fadhl al-Nawiri, bahwasanya Sayyid Nuruddin al-Asjabini orang tua dari Syarif ‘Afifuddin, ketika berada di Raudhah as-Syarifah dia berucap,”Assalamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullahi wabarkatuhu.” Ia mendengarkan suara yang berasal dari kubur, “Wa’alaikas salam, wahai anakku.”
Al-Hafizh Muhibbuddin bin an-Najar dalam Ta’rikh-nya menyatakan: “Telah bercerita kepadaku Abu Ahmad Dawud bin ‘Ali bin Muhammad bin Hibbatullah bin al-Muslimah bin Abui Faraj al-Mubarak bin ‘Abdillah bin Muhammad bin an-Naqur ia berkata, “Telah bercerita Syeikh kami Abu Nashar ‘Abdul Wahid bin ‘Abdul Malik bin Muhammad bin Abi Sa’id as-Shufi al-Karkhi, ia berkata, “Saya sedang melakukan ibadah haji dan berziarah ke kubur Nabi saw. Ketika aku sedang duduk di sisi dinding kamar, tiba-tiba Syeikh Abu Bakar ad-Dayar Bakri masuk dan duduk menghadap arah Nabi saw dan berucap As-Salamu ‘alaika ya Rasulallah. Aku mendengar suara di balik dinding, Wa’alaikas salam ya Abu Bakar. Suara itu jelas terdengar oleh orang-orang yang berada di situ.
Dalam kitab Mishbah azh-Zhalam fil Mustaghitsin bi-Khairil Anam karangan al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Musa bin an-Nu’man ia mengatakan: “Aku mendengar Yusuf bin ‘Ali ar-Raqasi bercerita dari seorang wanita Bani Hasyim, wanita itu tinggal berdekatan dengan kota Madinah. Wanita itu diperlakukan tidak baik oleh sebagian pembantu tuan rumah wanita itu, lalu wanita itu bercerita. Kemudian aku beristighatsah dengan Nabi saw, maka aku mendengar suara yang berkata dari arah Raudhah, “Engkau berada dalam uswah (teladan), bersabarlah sebagaimana aku telah bersabar, atau semisalnya.” Kemudian suara itu menghilang dariku, dan tiga orang pembantu yang menganiaya diriku itu pun mati.
Ibn as-Sam’ani dalam kitabnya ad-Dala’il mengatakan: “Aku adalah Abu Bakar Hibbatullah bin al-Faraj, aku adalah Abui Qasim Yusuf bin Muhammad bin Yusuf al-Khathib, aku adalah Abui Qasim ‘Abdur Rahman bin ‘Umar bin Tamkn al-Muaddab Tsana Ibn Ibrahim bin’ Alan, aku adalah ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ah Tsana Ahmad bin al-Hasyim at-Thai, ayahku telah bercerita kepadaku dari ayahnya dari Ibn Salamah bin Ka’sal dari Abi Shadiq, dari ‘AH bin Abi Thalib ra, ia berkata, “Telah datang kepada kami a’rabi (seorang dari kampung) setelah kami selesai menguburkan jasad Nabi saw tiga hari yang lalu. Kemudian orang kampung tersebut menyungkurkan dirinya di kubur Nabi saw dan menaburkan debu kuburan ke arah kepalanya dan ia berucap, “Ya Rasulullah, engkau bersabda, maka kami dengar sabdamu, dan engkau mendengar dari Allah, kemudian kami mendengar dari engkau apa yang Allah turunkan (wahyukan) kepada engkau: “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya diri mereka sendiri datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” Dan aku telah menzhalimi diriku, dan aku mendatangi engkau supaya engkau memintakan ampun untukku. Kemudian ada suara dari arah kubur bahwa aku telah diampuni.”
Selanjutnya saya melihat dalam kitab Muzilus Syubhat fi Itsbatil Karamat karangan Imam Imaduddin bin Isma’il bin Hibbatullah bin Batish disebutkan salah satu dalil yang menetapkan adanya karamah, yakni atsar yang berasal dari sahabat dan tabi’in dan orang-orang setelah mereka. Di antara karamah mereka adalah Abu Bakar ra. Ketika ia mendekati ajal, ia berkata kepada putrinya Aisyah, “Bahwa keduanya adalah saudara laki-lakimu dan dua saudara perempuanmu.” ‘Aisyah ra bertanya, “Benar dua orang itu adalah saudara laki-lakiku, yakni Muhammad dan Abdur Rahman, siapa lagi saudara perempuanku yang satunya, tidakkah aku hanya memiliki satu saudara perempuan, yakni Asma’?” Abu Bakar berkata, “Zawabith anak perempuan Kharijah, dia ditelantarkan di tempat gembala, dia adalah jariyah kemudian melahirkan Ummi Kultsum.”
Kemudian karamah ‘Umar bin Khaththab dalam kisah Sariyah, ‘Umar memanggilnya, saat itu ia sedang ber-khutbah, “Wahai Sariyah, ke bukit, ke bukit.” Kemudian Allah perdengarkan suara ‘Umar kepada Sariyah padahal ia berada di Nahawand. Juga kisah ‘Umar dengan Sungai Nil dan surat khususnya untuk sungai tersebut hingga mengalir setelah keringnya.
Kemudian karamah ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Abdullah bin Salam berkata: “Saya telah mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan untuk mengucapkan salam, sedang beliau dalam keadaan terkepung. ‘Utsman berkata, “Selamat datang sahabatku, kulihat Rasululllah saw dalam gubuk ini.” ‘Abdullah bin Salam berkata, “Wahai ‘Utsman, orang-orang telah mengepungmu?” Utsman menjawab, “Benar. Apakah engkau haus?” Aku menjawab, “Benar.” Kemudian ia mengambil air seember untukku. Aku pun meminumnya sampai puas, terasa dinginnya di antara tenggorokan dan dadaku. Beliau pun berkata, “Jika engkau mau membantu mereka, engkau boleh berbuka bersama kami.” Maka kupilih berbuka bersama Nabi saw. Ternyata hari itu Utsman meninggal terbunuh.
Hal di atas adalah kisah yang terkenal dari ‘Utsman ra yang berasal dari kitab-kitab hadis, dikeluarkan oleh Ibn Abi Usamah dalam Musnadnya dan juga selainnya. Pengarang buku ini telah paham bahwa itu adalah ru’yah (melihat) secara terjaga. Dan jika tidak, berarti tidak patut untijik dikategorikan sebagai karamah, dan karamah itu pun tidak diingkari oleh orang yang mengingkari karamah para wali.
Sebagian dari itu, apa yang dituturkan Ibn Batish dalam kitab ini, ia mengatakan: “Di antara mereka adalah Abui Husein Muhammad bin Sam’un al-Baghdadi as-Shufi Abu Thahir Muhammad bin ‘Ali al-‘Ulah berkata, “Pada suatu hari Abui Husein bin Sam’un menghadiri majelis pengajian, ia duduk di kursi sambil berceramah. Adalah Abui Fath al-Quwash duduk di samping kursi, ia terserang kantuk dan tidur. Abui Husein berhenti sejenak dari ceramahnya sampai Abui Fath terbangun dan mengangkat kepalanya. Abui Husein bertanya kepadanya, “Apakah engkau melihat Nabi saw dalam tidurmu?” Ia menjawab, “Benar.” Abui Husein berkata, “Oleh sebab itu aku berhenti bicara khawatir jika hal itu memutus apa yang sedang engkau alami.”
Hal tersebut di atas menjadi bukti bahwa sebenarnya Ibn Sam’un melihat Nabi saw secara terjaga ketika Nabi hadir, dan Abui Fath melihatnya dalam tidur.
Abu Bakar bin Abi Abyadh berkata dalam tulisannya: “Aku mendengar Abui Husein Naba’nal Jamal berkata, “Telah bercerita kepadaku sebagian sahabat kami, “Ada seorang laki-laki dikenal sebagai Ibn Tsabit tinggal di Mekkah. Pada suatu ketika pergi dari Mekkah menuju Madinah selama enam tahun, tidaklah lain hanya untuk bersalam kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian ia kembali pulang. Setelah selang beberapa waktu, sebab sibuk atau sebab lain, ia lupa tidak berkunjung.” Ia melanjutkan ceritanya, “Ketika ia sedang duduk di sebuah batu antara tidur dan terjaga, tiba-tiba ia melihat Nabi Muhammad saw. Beliau bersabda, “Wahai Ibn Tsabit, engkau tidak menziarahiku, maka aku yang mengunjungimu.”
Perlu kita perhatikan :
Pertama, kebanyakan kejadian melihat Nabi Muhammad saw dalam keadaan jaga adalah dengan pandangan hati, kemudian meningkat sampai melihat dengan pandangan mata (bashar). Pembahasan masalah ini telah dikemukakan di depan. Bahwa pernyataan al-Qadhi Abu Bakar bin al-‘Arabi, “Akan tetapi bukanlah melihatnya bashariyah (mata) ini seperti melihat yang umum diketahui oleh kebanyakan orang seperti melihatnya sebagian orang kepada sebagian yang lain. Melihat di sini adalah fenomena jam’ah khaliyah dan barzakhiyyah (metafisik) dan peristiwa wujdani (yang dirasakan hati) yang tidak bisa mengetahui hakikatnya kecuali orang yang mengalaminya langsung. Begitu juga ”disebutkan di depan” seperti yang dialami oleh Syeikh ‘Abdullah ad-Dalasi; ketika imam takbiratul ihram tiba-tiba ada kekuatan yang menarikku, kemudian aku melihat Rasulullah saw. Hal ini mengisyaratkan pada fenomena di atas.
Kedua, apakah melihatnya itu, melihat kepada dzat Nabi Muhammad saw dengan jisim dan ruhnya atau semacam bentuk gambar (pemisalannya) di mana orang-orang melihat arbabul ahwal dan mereka katakan sebagai Nabi saw. Dalam hal ini al-Ghazali menjelaskan, bahwa yang dimaksud bukanlah Nabi dilihat sebagai jisim dan badannya. Akan tetapi, “misal” beliau yang benar, pemisalan itu sebagai alat (media) di mana hal itu suatu ketika merupakan hal yang sebenarnya (hakikat) dan pada waktu lain merupakan khayali. Sebab nafs bukanlah misal yang dikhayalkan. Adapun perwujudan dari bentuk yang terlihat itu bukanlah ruh dari Nabi Muhammad saw dan juga bukan sosoknya, akan tetapi misal (contoh). Imam Ghazali melanjutkan, yang semisal dengan itu adalah orang yang melihat Nabi saw sewaktu tidur. Sesungguhnya dzat Allah tersucikan dari bentuk dan gambar, akan tetapi puncak dari cara Allah supaya diketahui oleh hamba dengan perantaraan misal (gambar) yang bisa dicerna semisal cahaya atau lainnya. Dan misaj tersebut adalah sesuatu yang haqq (benar adanya) sebagai media dalam pengenalan (ta’rif), maka orang yang melihat mengatakan, “Aku melihat Allah dalam tidur”, tidak dimaknai aku melihat Dzat Allah ta’ala, sebagaimana ia mengatakan tentang haqq (kebenaran) selainnya.
Al-Qadhi Abu Bakar bin al-‘Arabi menjelaskan: “Melihat Nabi saw dengan sifat-sifatnya yang sudah diketahui merupakan perjumpaan yang sebenarnya. Dan melihat beliau bukan dengan sifat-sifatnya adalah pertemuan pada pemisalan.” Inilah yang ia utarakan dalam kitab Ghayatul Husni, dan tidaklah mustahil melihat beliau dengan jasad dan ruhnya. Sebab Nabi saw dan nabi-nabi yang lain adalah hidup. Ruh-ruh mereka dikembalikan ke jasad mereka setelah dicabut, dan mereka diizinkan untuk keluar dari kubur mereka dan beraktivitas, baik di alam malakut ‘ulya (atas) atau sufla (bawah).
Imam al-Baihaqi telah membahas sepenggal kehidupan para nabi. Ia menyatakan dalam kitab Dalailun Nubuwwah: “Para nabi hidup di sisi Tuhan mereka seperti para syuhada.”
Ustadz Abu Manshur ‘Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi mengatakan: “Para sahabat kami yang ahli kalam al-muhaqqiqun berpendapat bahwa Nabi kita Muhammad saw hidup setelah wafatnya. Adalah beliau saw bergembira dengan ketaatan ummatnya dan bersedih dengan kemaksiatan mereka, dan beliau membalas shalawat dari ummatnya.” Ia menambahkan, “Para nabi as tidaklah dimakan oleh bumi sedikit pun. Musa as sudah meninggal pada masanya, dan Nabi kita mengabarkan bahwa beliau melihat ia shalat di kuburnya.
Disebutkan dalam hadis yang membahas masalah mi’raj, bahwasanya Nabi Muhammad saw melihat Nabi Musa as di langit ke empat serta melihat Adam dan Ibrahim. Jika hal ini benar adanya, maka kami berpendapat bahwa Nabi kita Muhammad saw juga hidup setelah wafatnya, dan beliau dalam kenabiannya.”